AQIQAH:
WUJUD SYUKUR TERHADAP SANG BUAH HATI
Oleh: Tim
Kajian Ilmiah Bustany
Tak satu pun pasangan suami-istri
(pasutri) di jagat raya ini yang tidak mendambakan kehadiran seorang anak. Anak
merupakan anugerah terbesar yang selalu dinanti-nantikan kehadirannya. Tak
heran, bila pasangan suami-istri yang tak kunjung dikaruniai anak melakukan
berbagai cara dan upaya, baik yang berupa fisik-biologis maupun
ritual-metafisik demi kehadirannya.
Semenjak dalam kandungan, sang ibu
sudah merawatnya dengan penuh perhatian dan kehati-hatian.[1] Tak lupa juga sang ayah, yang memberikan
perhatian lebih terhadap sang istri agar tidak terlalu memforsir tenaga dalam
beraktifitas demi kesehatan dirinya dan si jabang bayi. Tidak lain tujuannya,
agar kelak sang bayi bisa lahir dalam keadaan normal tanpa kendala apapun, juga
agar anak tumbuh sehat, sebagaimana anak-anak lain pada umumnya.
Kehadiran seorang
anak tidak hanya bisa dipahami sebagai anugerah yang diberikan Allah swt.
kepada setiap hambanya, melainkan itu juga amanah. Kedua orang tuanya tidak
boleh larut dalam kebahagiaan dengan terlalu memanjakannya, sehingga
mengabaikan tanggungjawabnya. Mereka harus mampu mengarahkan dan membimbimnya
agar kelak menjadi anak yang berbakti kepada kedua orang tuanya dan bergunabagi agama, nusa, dan bangsa.
Ketika sang
bayi terlahir ke dunia, maka yang perlu dilakukan pertama kali oleh orang
tuanya, yaitu sang ayah adalah sunnah meng-adzan-i di telinga kanannya
dan meng-iqhomah-i di telinga kirinya, sebagaimana yang dilakukan
Rasulullah saw. terhadap cucunya, Hasan bin ‘Ali ketika ibunya, Fatimah ra.
melahirkannya ke dunia.[2] Selain di-adzan-i, bayi tersebut juga
sunnah di-tahniq, yaitu menyuapi makanan yang memiliki rasa manis
(semisal kurma atau yang lainnya) ke mulut sang bayi setelah makanan tersebut
dikunyah sehalus mungkin.[3] Tahniq hendaknya dilakukan oleh orang
shalih, semisal tokoh masyarakat atau kiai. Kesunnahan tahniq ini berdasarkan
hadits Nabi yang diceritakan Abi Musa;
وُلِدَ لِي غُلاَمٌ
فَأَتَيْتُ بِهِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَمَّاهُ
إِبْرَاهِيمَ فَحَنَّكَهُ بِتَمْرَةٍ
“Aku dikaruniai seorang anak, kemudian aku membawanya
kepada Nabi saw., lalu Nabi memberinya nama Ibrahim dan men-tahniq-nya dengan
kurma.”[4]
Setelah
tujuh hari dari masa kelahirannya,[5] selain sunnah mencukur rambut sang bayi juga
sunnah memberikannya nama, tentu nama yang baik, semisal Abdullah dan
Abdurrahman.[6] Bukanlah nama-nama yang tidak selaras dengan
agama, semisal Syaitan, Dhalim, Himar, dan lain-lain.
Dalam suatu
kesempatan, Nabi saw. bersabda;
إِنَّكُمْ تُدْعَوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِأَسْمَائِكُمْ
وَأَسْمَاءِ آبَائِكُمْ فَحَسِّنُوا أَسْمَاءَكُمْ
“Sesungguhnya
kamu sekalian kelak pada hari kiamat akan dipanggil dengan nama-namamu dan
nama-nama ayahmu. Maka, per-indah-lah nama kamu sekalian.”[7]
Di samping
sunnah mencukur rambut
dan memberikan nama, orang tua dianjurkan meng-aqiqah-i anak. Aqiqah
secara etimologi adalah rambut yang ada pada bayi. Sedangkan aqiqah secara
terminologi adalah penyembelihan hewan atas nama anak yang baru lahir pada hari
ketujuh dari masa kelahirannya.[8]
Anjuran aqiqah ini didasarkan pada sabda Nabi Muhammad saw.;
كُلُّ غُلاَمٍ رَهِيْنَةٌ بِعَقِيْقَتِهِ تُذْبَحُ
عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى
”Setiap
anak (yang baru dilahirkan) tergadaikan dengan aqiqahnya, disembelih (hewan)
atas nama anak pada hari ketujuh dari kelahirannya, dicukur (rambutnya), dan
diberi nama (pada hari itu).”[9]
Aqiqah, sebenarnya sudah ada sejak zaman Jahiliyah. Pada saat
itu, orang-orang Arab mengaqiqahi bayi mereka dengan mewarnai perutnya dengan
darah binatang Akikah itu. Dan setelah mencukur rambutnya, mereka mengoleskan
darah hewan pada kepalanya. Namun, setelah Islam datang, Nabi memerintahkan
untuk menggantikannya dengan wangi-wangian, semisal minyak za’faron.[10]
Meng-aqiqah-i seorang anak menurut kalangan
Syafi’iyah sebatas sunnah untuk dilakukan. Berbeda dengan kalangan Syafi’iyah,
Hanafiyah menilai, bahwasanya aqiqah terhadap anak hanyalah boleh dikerjakan,
tidak sampai sunnah.[11]
Dalam arti, seorang ayah boleh-boleh saja melakukan aqiqah untuk anak yang baru
dilahirkan atau tidak. Sedangkan menurut Imam Hasan Bashri,
al-Laits bin Sa’ad, dan Daud al-Dzahiri aqiqah
adalah wajib, sehingga orang tua yang tidak melaksanakan aqiqah terhadap anak
mendapatkan dosa.
Terlepas dari perbedaan pendapat tentang hukum aqiqah di antara mereka, jika
seorang anak hendak di-aqiqah-i, maka hendaknya jangan melewati masa
baligh,[12]
namun sebagian pendapat ada yang membolehkan aqiqah, walaupun sudah melewati
usia baligh.
Perbedan pendapat di kalangan ulama tidak hanya berhenti
pada hukum aqiqah. Namun, mereka juga berselisih terkait dengan jumlah hewan
yang akan dibuat aqiqah. Menurut Malikiyah, tidak ada perbedaan antara anak
laki-laki dan anak perempuan mengenai jumlah hewan yang akan dibuat aqiqah,
baik anak laki-laki ataupun perempuan masing-masing hanya satu hewan. Mereka
mendasarkan pendapatnya pada Hadits Nabi yang disampaikan Ibnu ‘Abbas;
عَقَّ عَنِ
الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ كَبْشاً كَبْشاً
Selain berpijak pada hadits di atas, alasan mengapa Malikiyah
cenderung menyamakan antara anak laki-laki dan anak perempuan dalam jumlah
hewan, karena hal itu rasional (ma’qul). Di samping itu, aqiqah lebih
mudah untuk dilakukan bagi orang tua anak. Jika anak laki-laki dibedakan dengan
anak perempuan dalam hal jumlah hewan, niscaya para orang tua merasa kesulitan
dan terbebani ketika memiliki anak laki-laki.
Beda halnya dengan Syafi’iyah dan Hanabilah. Mereka
berdua membedakan antara anak laki-laki dengan anak perempuan dalam hal jumlah
hewan untuk di-aqiqah-i. Bagi orang tua yang memiliki anak laki-laki,
maka jumlah hewan untuk aqiqah-nya sebanyak dua ekor, sedangkan untuk anak
perempuan hanya satu ekor.[14]
Mereka berpijak pada khabar yang disampaikan ‘Aisyah ra.;
عَنِ الْغُلاَمِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ وَعَنِ
الْجَارِيَةِ شَاةٌ
“Aqiqah bagi anak laki-laki adalah dua ekor kambing, sedangkan
bagi anak perempuan seekor kambing.”[15]
Imam madzhab memang berbeda pendapat berkenaan dengan
jumlah hewan untuk aqiqah anak laki-laki dan anak perempuan. Namun, kalau
sekiranya memiliki kecukupan harta, tidak ada salahnya mengikuti pendapat yang
disampaikan madzhab Syafi’iyah dan Hanabilah. Terlebih, masyarakat Indonesia
yang mayoritas bermadzhab Syafi’i, aqiqah dengan dua ekor hewan untuk anak
laki-laki dan satu ekor hewan untuk anak perempuan seakan sudah menjadi
keharusan (wajib) untuk dilaksanakan. Jika tidak, hal itu akan menjadi bahan gunjingan
di tengah-tengah masyarakat.
Sedangkan hewan yang bisa dibuat aqiqah adalah kambing,
sapi, dan unta.[16]
Berkenaan dengan jenis, usia, dan terbebasnya hewan dari aib sama halnya dengan
kriteria yang ada pada hewan qurban. Hanya saja, daging aqiqah menurut ulama
fiqh sunnah dimasak daripada disedakahkan dagingnya yang masih mentah. Pihak
keluarga hendaknya memasak daging aqiqah kemudian mengadakan semacam walimah
dengan mengundang tetangga sekitar dan ikut makan bersama mereka. Daging aqiqah
sama halnya dengan daging qurban, tidak boleh dijual.
Hewan yang bisa dibuat aqiqah memang kambing, sapi dan
unta, namun masyarakat Indonesia lebih memilih kambing untuk dijadikan aqiqah,
ketimbang sapi, apalagi unta yang memang jarang atau sulit didapat karena
habitatnya di kawasan Arab. Sesungguhnya ada alasan yang cukup rasional terkait
pemilihan kambing untuk dibuat aqiqah. Di samping harganya relatif lebih murah
di bandingkan sapi, sehingga terjangkau oleh semua lapisan masyarakat, terlebih
bagi masyarakat yang ekonominya menengah ke bawah. Juga, Nabi sendiri
menggunakan kambing untuk meng-aqiqah-i Hasan, sehingga ada kesan sunnah
menggunakan kambing daripada hewan yang lain.
Aqiqah
terhadap anak yang baru lahir memang bukanlah sebuah kewajiban yang
berkonsekwensi dosa bagi orang tuanya tatkala ditinggalkan. Namun, hal itu
sebatas sunnah, yang apabila dikerjakan mendapatkan pahala dan ketika
ditinggalkan tidak berkonsekwensi dosa. Atau mubah, sebagaimana pendapat
kalangan Hanafiyah. Kendatipun demikian, namun praktek semacam ini sudah
mengakar di tengah-tengah masyarakat Islam. Dalam arti, sudah menjadi kebiasan
atau ‘urf yang hingga kini berlangsung lestari.[17] Sehingga, apabila tidak dilakukan dimungkinkan
terjadi fitnah, berupa celaan dari tetangga sekitar. Oleh karenanya,
sepantasnya hal itu dilakukan, mengingat adanya hikmah di balik pensyari’atan
aqiqah. Sebagai ungkapan rasa syukur atas karunia Allah berupa lahirnya jabangbayi serta memupuk serta meningkatkan sikap dermawan.
[1] Tak salah bila al-Qur’an mengibaratkan
seorang ibu yang dalam kondisi hamil dengan istilah “Wahnan ‘ala wahnin”, derita
di atas derita. Betapa tidak, kalau sebelum hamil, ia bebas melakukan aktifitas
apapun, tanpa ada beban yang perlu ditanggung. Namun, ketika hamil, ia harus
bisa menjaga diri, mulai dari makanan, aktifitas, dan lain sebagainya demi
keselamatan dirinya terlebih bayinya. Setelah melahirkan, ia masih harus
menyusui selama kurang lebih dua tahun.
[2]
Dalam sebuah Hadits dijelaskan;
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ
عَلِيٍّ حِيْنَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ
“Sesungguhnya
Nabi saw. mengumandangkan adzan di telinganya Hasan bin ‘Ali di saat Fatimah
(ibunya) melahirkannya.” Ahmad bin Hambal, Musnad al-Imam Ahmad bin
Hambal, Juz 45, hal. 166, Maktabah Syamilah.
[3] Zakaria al-Anshary, Fath al-Wahhab,
Kairo: Dar al-Kutub, juz 2, hal. 332.
[4] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, juz
19, hal. 186, Maktabah Syamilah.
[5] Jika seorang ibu melahirkan setelah matahari
tergelincir atau di malam hari, maka hari kelahiran bayi terhitung pada hari
esoknya, bukan pada hari sebelum ia dilahirkan.
[6] Dalam sebuah Hadits disebutkan;
أَحَبُّ
الأَسْمَاءِ إِلىَ اللهِ تَعَالىَ: عَبْدُ اللهِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ
”Nama yang paling disenangi Allah swt. adalah Abdullah
dan Abdurrahman.”
[7] Ahmad
bin Hambal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hambal, Kairo: Muassah Qurtubah,
Juz 5, hal. 194.
[8] Taqiyuddin Abu Bakar al-Hashny, Kifayah
al-Akhyar, Surabaya: al-Haramain, juz 2, hal. 242.
[9] Abu Daud al-Sijistany, Sunan Abi Daud, juz
8, hal. 17, Maktabah Syamilah.
[10] Abu Daud al-Sijistany, Sunan Abi Daud, juz
8, hal. 21, Maktabah Syamilah.
[11] Wahbah al-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islamy wa
Adillatuhu, Kairo: Dar al-Fikr, juz , hal. 638.
[12] Abdul Aziz al-Malibary, Fath al-Mu’in, Surabaya:
Nurul Huda, hal. 63.
[13] Kitab al-‘Aqiqah ‘an al-Maulud, juz
1, hal. 126, Maktabah Syamilah.
[14] Zakaria al-Anshary, Tuhfah at-Tullab bi
Syarkh Tahrir Tanqih al-Lubab, Semarang: Karya Toha Putra, hal. 131.
[15] At-Turmudzi, Sunan at-Turmudzi, juz
5, hal. 483, Maktabah Syamilah.
[16] An-Nawawi,
al-Majmu’ Syarkh al-Muhaddzab, juz 8, hal. 448, Maktabah
Syamilah.
[17] Kebiasaan atau ‘urf yang terjadi di
tengah-tengah masyarakat selama tidak bertentangan dengan nash dan ijma’ ulama,
wajib diamalkan. Abdul Wahhab Khallaf, Ilm Ushul Fiqh, Kairo: Dar
al-Qalam, hal. 89.
Post a Comment