GuidePedia

0


AQIQAH: WUJUD SYUKUR TERHADAP SANG BUAH HATI

Tak satu pun pasangan suami-istri (pasutri) di jagat raya ini yang tidak mendambakan kehadiran seorang anak. Anak merupakan anugerah terbesar yang selalu dinanti-nantikan kehadirannya. Tak heran, bila pasangan suami-istri yang tak kunjung dikaruniai anak melakukan berbagai cara dan upaya, baik yang berupa fisik-biologis maupun ritual-metafisik demi kehadirannya.
            Semenjak dalam kandungan, sang ibu sudah merawatnya dengan penuh perhatian dan kehati-hatian.[1] Tak lupa juga sang ayah, yang memberikan perhatian lebih terhadap sang istri agar tidak terlalu memforsir tenaga dalam beraktifitas demi kesehatan dirinya dan si jabang bayi. Tidak lain tujuannya, agar kelak sang bayi bisa lahir dalam keadaan normal tanpa kendala apapun, juga agar anak tumbuh sehat, sebagaimana anak-anak lain pada umumnya.
AQIQAH: WUJUD SYUKUR TERHADAP SANG BUAH HATI
Kehadiran seorang anak tidak hanya bisa dipahami sebagai anugerah yang diberikan Allah swt. kepada setiap hambanya, melainkan itu juga amanah. Kedua orang tuanya tidak boleh larut dalam kebahagiaan dengan terlalu memanjakannya, sehingga mengabaikan tanggungjawabnya. Mereka harus mampu mengarahkan dan membimbimnya agar kelak menjadi anak yang berbakti kepada kedua orang tuanya dan bergunabagi agama, nusa, dan bangsa.
Ketika sang bayi terlahir ke dunia, maka yang perlu dilakukan pertama kali oleh orang tuanya, yaitu sang ayah adalah sunnah meng-adzan-i di telinga kanannya dan meng-iqhomah-i di telinga kirinya, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah saw. terhadap cucunya, Hasan bin ‘Ali ketika ibunya, Fatimah ra. melahirkannya ke dunia.[2] Selain di-adzan-i, bayi tersebut juga sunnah di-tahniq, yaitu menyuapi makanan yang memiliki rasa manis (semisal kurma atau yang lainnya) ke mulut sang bayi setelah makanan tersebut dikunyah sehalus mungkin.[3] Tahniq hendaknya dilakukan oleh orang shalih, semisal tokoh masyarakat atau kiai. Kesunnahan tahniq ini berdasarkan hadits Nabi yang diceritakan Abi Musa;
وُلِدَ لِي غُلاَمٌ فَأَتَيْتُ بِهِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَمَّاهُ إِبْرَاهِيمَ فَحَنَّكَهُ بِتَمْرَةٍ
“Aku dikaruniai seorang anak, kemudian aku membawanya kepada Nabi saw., lalu Nabi memberinya nama Ibrahim dan men-tahniq-nya dengan kurma.”[4]
Setelah tujuh hari dari masa kelahirannya,[5] selain sunnah mencukur rambut sang bayi juga sunnah memberikannya nama, tentu nama yang baik, semisal Abdullah dan Abdurrahman.[6] Bukanlah nama-nama yang tidak selaras dengan agama, semisal Syaitan, Dhalim, Himar, dan lain-lain.
Dalam suatu kesempatan, Nabi saw. bersabda;
إِنَّكُمْ تُدْعَوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِأَسْمَائِكُمْ وَأَسْمَاءِ آبَائِكُمْ فَحَسِّنُوا أَسْمَاءَكُمْ
Sesungguhnya kamu sekalian kelak pada hari kiamat akan dipanggil dengan nama-namamu dan nama-nama ayahmu. Maka, per-indah-lah nama kamu sekalian.”[7]
Di samping sunnah mencukur rambut dan memberikan nama, orang tua dianjurkan meng-aqiqah-i anak. Aqiqah secara etimologi adalah rambut yang ada pada bayi. Sedangkan aqiqah secara terminologi adalah penyembelihan hewan atas nama anak yang baru lahir pada hari ketujuh dari masa kelahirannya.[8] Anjuran aqiqah ini didasarkan pada sabda Nabi Muhammad saw.;
كُلُّ غُلاَمٍ رَهِيْنَةٌ بِعَقِيْقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى
”Setiap anak (yang baru dilahirkan) tergadaikan dengan aqiqahnya, disembelih (hewan) atas nama anak pada hari ketujuh dari kelahirannya, dicukur (rambutnya), dan diberi nama (pada hari itu).”[9]
Aqiqah, sebenarnya sudah ada sejak zaman Jahiliyah. Pada saat itu, orang-orang Arab mengaqiqahi bayi mereka dengan mewarnai perutnya dengan darah binatang Akikah itu. Dan setelah mencukur rambutnya, mereka mengoleskan darah hewan pada kepalanya. Namun, setelah Islam datang, Nabi memerintahkan untuk menggantikannya dengan wangi-wangian, semisal minyak za’faron.[10]
Meng-aqiqah-i seorang anak menurut kalangan Syafi’iyah sebatas sunnah untuk dilakukan. Berbeda dengan kalangan Syafi’iyah, Hanafiyah menilai, bahwasanya aqiqah terhadap anak hanyalah boleh dikerjakan, tidak sampai sunnah.[11] Dalam arti, seorang ayah boleh-boleh saja melakukan aqiqah untuk anak yang baru dilahirkan atau tidak. Sedangkan menurut Imam Hasan Bashri, al-Laits bin Sa’ad, dan Daud al-Dzahiri aqiqah adalah wajib, sehingga orang tua yang tidak melaksanakan aqiqah terhadap anak mendapatkan dosa. Terlepas dari perbedaan pendapat tentang hukum aqiqah di antara mereka, jika seorang anak hendak di-aqiqah-i, maka hendaknya jangan melewati masa baligh,[12] namun sebagian pendapat ada yang membolehkan aqiqah, walaupun sudah melewati usia baligh. 
Perbedan pendapat di kalangan ulama tidak hanya berhenti pada hukum aqiqah. Namun, mereka juga berselisih terkait dengan jumlah hewan yang akan dibuat aqiqah. Menurut Malikiyah, tidak ada perbedaan antara anak laki-laki dan anak perempuan mengenai jumlah hewan yang akan dibuat aqiqah, baik anak laki-laki ataupun perempuan masing-masing hanya satu hewan. Mereka mendasarkan pendapatnya pada Hadits Nabi yang disampaikan Ibnu ‘Abbas;
عَقَّ عَنِ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ كَبْشاً كَبْشاً
“Nabi meng-aqiqah-i Hasan dan Husein masing-masing dengan seekor kambing.”[13]
Selain berpijak pada hadits di atas, alasan mengapa Malikiyah cenderung menyamakan antara anak laki-laki dan anak perempuan dalam jumlah hewan, karena hal itu rasional (ma’qul). Di samping itu, aqiqah lebih mudah untuk dilakukan bagi orang tua anak. Jika anak laki-laki dibedakan dengan anak perempuan dalam hal jumlah hewan, niscaya para orang tua merasa kesulitan dan terbebani ketika memiliki anak laki-laki.
Beda halnya dengan Syafi’iyah dan Hanabilah. Mereka berdua membedakan antara anak laki-laki dengan anak perempuan dalam hal jumlah hewan untuk di-aqiqah-i. Bagi orang tua yang memiliki anak laki-laki, maka jumlah hewan untuk aqiqah-nya sebanyak dua ekor, sedangkan untuk anak perempuan hanya satu ekor.[14] Mereka berpijak pada khabar yang disampaikan ‘Aisyah ra.;
عَنِ الْغُلاَمِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ
“Aqiqah bagi anak laki-laki adalah dua ekor kambing, sedangkan bagi anak perempuan seekor kambing.”[15]
Imam madzhab memang berbeda pendapat berkenaan dengan jumlah hewan untuk aqiqah anak laki-laki dan anak perempuan. Namun, kalau sekiranya memiliki kecukupan harta, tidak ada salahnya mengikuti pendapat yang disampaikan madzhab Syafi’iyah dan Hanabilah. Terlebih, masyarakat Indonesia yang mayoritas bermadzhab Syafi’i, aqiqah dengan dua ekor hewan untuk anak laki-laki dan satu ekor hewan untuk anak perempuan seakan sudah menjadi keharusan (wajib) untuk dilaksanakan. Jika tidak, hal itu akan menjadi bahan gunjingan di tengah-tengah masyarakat.
Sedangkan hewan yang bisa dibuat aqiqah adalah kambing, sapi, dan unta.[16] Berkenaan dengan jenis, usia, dan terbebasnya hewan dari aib sama halnya dengan kriteria yang ada pada hewan qurban. Hanya saja, daging aqiqah menurut ulama fiqh sunnah dimasak daripada disedakahkan dagingnya yang masih mentah. Pihak keluarga hendaknya memasak daging aqiqah kemudian mengadakan semacam walimah dengan mengundang tetangga sekitar dan ikut makan bersama mereka. Daging aqiqah sama halnya dengan daging qurban, tidak boleh dijual.
Hewan yang bisa dibuat aqiqah memang kambing, sapi dan unta, namun masyarakat Indonesia lebih memilih kambing untuk dijadikan aqiqah, ketimbang sapi, apalagi unta yang memang jarang atau sulit didapat karena habitatnya di kawasan Arab. Sesungguhnya ada alasan yang cukup rasional terkait pemilihan kambing untuk dibuat aqiqah. Di samping harganya relatif lebih murah di bandingkan sapi, sehingga terjangkau oleh semua lapisan masyarakat, terlebih bagi masyarakat yang ekonominya menengah ke bawah. Juga, Nabi sendiri menggunakan kambing untuk meng-aqiqah-i Hasan, sehingga ada kesan sunnah menggunakan kambing daripada hewan yang lain.
Aqiqah terhadap anak yang baru lahir memang bukanlah sebuah kewajiban yang berkonsekwensi dosa bagi orang tuanya tatkala ditinggalkan. Namun, hal itu sebatas sunnah, yang apabila dikerjakan mendapatkan pahala dan ketika ditinggalkan tidak berkonsekwensi dosa. Atau mubah, sebagaimana pendapat kalangan Hanafiyah. Kendatipun demikian, namun praktek semacam ini sudah mengakar di tengah-tengah masyarakat Islam. Dalam arti, sudah menjadi kebiasan atau ‘urf yang hingga kini berlangsung lestari.[17] Sehingga, apabila tidak dilakukan dimungkinkan terjadi fitnah, berupa celaan dari tetangga sekitar. Oleh karenanya, sepantasnya hal itu dilakukan, mengingat adanya hikmah di balik pensyari’atan aqiqah. Sebagai ungkapan rasa syukur atas karunia Allah berupa lahirnya jabangbayi serta memupuk serta meningkatkan sikap dermawan.


[1] Tak salah bila al-Qur’an mengibaratkan seorang ibu yang dalam kondisi hamil dengan istilah “Wahnan ‘ala wahnin”, derita di atas derita. Betapa tidak, kalau sebelum hamil, ia bebas melakukan aktifitas apapun, tanpa ada beban yang perlu ditanggung. Namun, ketika hamil, ia harus bisa menjaga diri, mulai dari makanan, aktifitas, dan lain sebagainya demi keselamatan dirinya terlebih bayinya. Setelah melahirkan, ia masih harus menyusui selama kurang lebih dua tahun.
[2] Dalam sebuah Hadits dijelaskan;
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ حِيْنَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ
“Sesungguhnya Nabi saw. mengumandangkan adzan di telinganya Hasan bin ‘Ali di saat Fatimah (ibunya)    melahirkannya.” Ahmad bin Hambal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hambal, Juz 45, hal. 166, Maktabah Syamilah.
[3] Zakaria al-Anshary, Fath al-Wahhab, Kairo: Dar al-Kutub, juz 2, hal. 332.
[4] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, juz 19, hal. 186, Maktabah Syamilah.
[5] Jika seorang ibu melahirkan setelah matahari tergelincir atau di malam hari, maka hari kelahiran bayi terhitung pada hari esoknya, bukan pada hari sebelum ia dilahirkan.
[6] Dalam sebuah Hadits disebutkan;
أَحَبُّ الأَسْمَاءِ إِلىَ اللهِ تَعَالىَ: عَبْدُ اللهِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ
            ”Nama yang paling disenangi Allah swt. adalah Abdullah dan Abdurrahman.”
[7]  Ahmad bin Hambal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hambal, Kairo: Muassah Qurtubah, Juz 5, hal. 194.
[8] Taqiyuddin Abu Bakar al-Hashny, Kifayah al-Akhyar, Surabaya: al-Haramain, juz 2, hal. 242.
[9] Abu Daud al-Sijistany, Sunan Abi Daud, juz 8, hal. 17, Maktabah Syamilah.
[10] Abu Daud al-Sijistany, Sunan Abi Daud, juz 8, hal. 21, Maktabah Syamilah.
[11] Wahbah al-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, Kairo: Dar al-Fikr, juz , hal. 638.
[12] Abdul Aziz al-Malibary, Fath al-Mu’in, Surabaya: Nurul Huda, hal. 63.
[13] Kitab al-‘Aqiqah ‘an al-Maulud, juz 1, hal. 126, Maktabah Syamilah.
[14] Zakaria al-Anshary, Tuhfah at-Tullab bi Syarkh Tahrir Tanqih al-Lubab, Semarang: Karya Toha Putra, hal. 131.
[15] At-Turmudzi, Sunan at-Turmudzi, juz 5, hal. 483, Maktabah Syamilah.
[16] An-Nawawi, al-Majmu’ Syarkh al-Muhaddzab, juz 8, hal. 448, Maktabah Syamilah.
[17] Kebiasaan atau ‘urf yang terjadi di tengah-tengah masyarakat selama tidak bertentangan dengan nash dan ijma’ ulama, wajib diamalkan. Abdul Wahhab Khallaf, Ilm Ushul Fiqh, Kairo: Dar al-Qalam, hal. 89.

Post a Comment

 
Top