Santri Ideal
Perbedaan yang sangat mencolok antara orang-orang dulu
dengan orang sekarang (baca: ulama) adalah dari sisi keilmuannya. Jarang kita
jumpai pada masa lalu ulama yang hanya ahli (spesifik) satu bidang ilmu
tertentu. Kalaupun ada, spesifikasi tersebut lebih mengarah kepada ilmu yang
beliau geluti. Bukan berarti tidak menguasai ilmu-ilmu yang lain. Beda halnya
dengan sekarang, spesifikasi menunjukkan kepada keahlian tertentu.
Taruhlah contoh Imam Zakaria al-Anshary, seorang ulama
yang dikenal ahli fiqh dalam madzhab Syafi’i. Kitab-kitabnya dalam bidang fiqh
menunjukkan, bahwa ia seorang faqih yang tak perlu diragukan. Namun,
bukan berarti beliau hanya ahli dalam bidang fiqh, sementara nahwu, tafsir,
ushul fiqh, hadits, mantiq, dan lain-lain tidak beliau kuasai. Karya-karyanya,
seperti Syarkh Syuduru al-Dzahab (nahwu), Fath ar-Rahman
(tafsir), Tuhfah al-Bary (hadits), Ghayah al-Wushul (ushul fiqh),
Syarakh Isaghuji (mantiq) membuktikan betapa beliau ulama yang memiliki
kualifikasi keilmuan dalam berbagai bidang.
Kelas 6 pi 2 2014 - 2015 Bustanul Arifin |
Hal ini berbeda jauh dengan masa sekarang. Bisa kita lihat
pada seorang dokter yang memiliki spesifikasi keilmuan tertentu, seperti halnya
dokter spesialis mata. Sangat tidak mungkin dokter spesialis mata mengetahui
secara detail gejala seorang pasien yang menderita penyakit dalam (internis).
Bahkan, bukan hal yang mustahil bila suatu saat ada dokter spesialis mata kiri,
sehingga sang dokter tidak bisa mengobati pasien yang menderita penyakit mata
kanan. Hal inilah yang juga terjadi pada ulama-ulama sekarang yang memiliki
spesifikasi keilmuan tertentu, semisal nahwu. Tentu, ia akan merasa kesulitan
menyelesaikan persoalan seputar fikih, ushul fikih, tafsir, dan semacamnya.
Kondisi semacam ini tentu tidak kita harapkan. Oleh
karenanya, selaku generasi muda atau kaum santri harus menyiapkan diri sedini
mungkin dengan menguasai berbagai disiplin ilmu, seperti nahwu, sharraf,
al-qur’an, fiqh, ushul fiqh, mantiq, dan beberapa ilmu yang saling terkait dan
saling mendukung. Bukankah para ulama telah mempromosikan atau menganjurkan
agar kita mempelajari supaya menguasai berbagai bidang ilmu tersebut.
Nahwu
Nahwu merupakan suatu bidang ilmu (fan)
yang bisa mengantarkan seseorang mampu membaca sekaligus memahami kandungan isi
(pesan) al-Qur’an, Hadits,
dan kitab
kuning. Orang-orang biasa menyebutnya dengan ilmu alat, alat untuk bisa membaca kitab. Ulama nahwu telah lama berpesan agar ilmu ini yang harus dikuasai
pertama kali, mengingat sebuah pembicaraan tak akan dapat
dipaham tanpa nahwu, sebagaimana
dalam sebuah nadham,
وَالنَّحْوُ أَوْلَى أَوَّلاً أَنْ يُعْلَمَا..... إذِ
الْكَلاَمُ دونَهُ لَنْ يُفْهَمَا
Sharraf
Selain nahwu, sharraf juga harus dikuasai, mengingat ia
merupakan gandengan atau temannya nahwu.
Bila nahwu lebih menitikberatkan pada permasalahan atau pembahasan bacaan akhir
kalimat, maka sharraf lebih kepada bacaan di tengah atau di awal kalimat. Jadi,
kedua-duanya saling melengkapi. Oleh karenanya, tak salah bila terdapat sebuah
ungkapan yang mengibaratkan keduanya sebagai sebuah keluarga (suami-istri),
النَّحْوُ أَبُو الْعِلْمِ وَ الصَّرْفُ أُمُّهَا
Mantiq
Mantiq tak ubahnya nahwu, di mana ia
merupakan suatu ilmu yang bisa mengajarkan seseorang untuk berfikir dengan
logika yang rasional dan benar. Dalam arti, alat yang bisa mengantarkan
seseorang menarik sebuah kesimpulan (konklusi) yang bisa dipertanggungjawabkan.
Oleh karenanya, ilmu ini haruslah dikuasai, karena dalam pandangan al-Ghazali,
seseorang yang tidak memahami mantiq, ilmunya tak dapat dipercaya,
أَنَّ مَنْ لاَ مَعْرِفَةَ بِالْمَنْطِقِ
لاَ يُوْثَقُ بِعِلْمِهِ
Fikih
Fikih adalah ilmu yang membahas dan
mengatur hubungan manusia dengan manusia yang lain dan hubungan manusia dengan
Tuhannya. Hendaknya semua orang mengerti fiqih, mengingat ia dapat menjadi
penunjuk jalan kebaikan. Syekh Muhammad bin Hasan bin Abdillah sedari awal
sudah mewanti-wanti agar mempelajari fiqh karena terdapat hikmah yang sangat
besar,
تَفَقَّهْ
فَإِنَّ
الْفِقْهَ
أَفْضَلُ
قَائِدِ
إِلىَ
البِرِّ
وَالتَّقْوَى
وَأَعْدَلُ
قَاصِدِ
هُوَ الْعِلْمُ
الْهَادِي إِلىَ سُنَنِ الْهُدَى هُوَ الْحِصْنُ
يُنْجِي مِنْ جَمِيْعِ الشَّدَائِدِ
فَإِنَّ فَقِيْهًا
وَاحِدًا مُتَوَّرِعًا
أَشَدُّ عَلىَ الشَّيْطَانِ
مِنْ أَلْفِ عَابِدِ
Belajarlah
fiqih, karena sesungguhnya fiqih sebaik-baik tuntunan dan selurus-lurus tujuan
menuju kebaikan dan takwa
Ilmu
fiqih dapat menjadi petunjuk, juga dapat menjadi benteng yang dapat
menyelamatkan dari berbagai bencana
Karena
sesungguhnya orang yang ahli fiqih (faqih) lagi wara’ adalah lebih berat bagi
syetan dari pada seribu orang ahli ibadah (yang tidak paham fiqih)
Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan pedoman utama umat
Islam, membacanya pun menjadi ibadah (dapat pahala). Nabi pernah bersabda,
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
“Orang
yang terbaik adalah orang yang belajar al-Qur’an dan mengajarkannya.”
Oleh
karenanya, hendaknya kaum muslimin menguasai al-Qur’an secara lafdan wa
ma’nan, sebagaimana para
imam-imam madzhab yang sudah menguasainya semenjak kecil.
Menjadi
santri ideal, dalam arti menguasai berbagai bidang ilmu sebagaimana imam-imam
terdahulu sulit terwujud jika tidak disertai dengan kemauan dan kerja keras.
Intinya, ada pada pribadi masing-masing sanggup tidaknya melahirkan kembali imam-imam
sekaliber al-Ghazali, Zakaria al-Anshary, dan imam-imam yang lain di masa yang
akan datang. Bukan hal yang mustahil mencetak dirinya menjadi seorang ulama
seperti mereka, selama mampu mempraktikkan apa saja yang pernah dilakukan
mereka selama menuntut ilmu (nyantri).
Post a Comment