GuidePedia

2


POTRET PEMIMPIN MASA DEPAN

Siapa yang tak kenal Ketua Mahkamah Konstitusi; Prof. Mahfud MD, Menteri BUMN; Dahlan Iskan, Gubernur DKI Jakarta; Joko Widodo, dan sederet nama pejabat yang tengah mewarnai negeri ini. Mereka adalah sosok pemimpin yang sedang dielu-elukan saat ini. Bukan lantaran kekayaannya yang melimpah dan juga bukan fisiknya yang sempurna, namun sepak terjangnya yang mereka lakukan mampu mencerminkan seorang pemimipin yang sesuai dengan harapan rakyatnya; jujur, tegas, adil, serta amanah.
 Dalam konteks Indonesia, pemimpin seperti mereka sangatlah dibutuhkan. Mengingat, negara Indonesia yang sedang dalam kondisi kiritis disebabkan banyaknya pejabat –dari tingkat bawah hingga pejabat tinggi negara– yang korup dan tak lagi memikirkan nasib rakyatnya. Kekuasaan hanyalah dijadikan ajang untuk mengeruk kekayaan negara sebanyak mungkin. Tak hayal, bila Indonesia menduduki peringkat kelima negara terkorup sedunia dan menduduki peringkat pertama negara terkorup di Asia-Pasifik.[1]
POTRET PEMIMPIN MASA DEPAN
Pemimpin atau pimpinan dalam Islam dikenal dengan istilah imamah, khilafah, imarah, dan mulk.[2] Walaupun istilah pemimpin         memiliki ragam kata, namun pada tataran prakteknya sama, yaitu memimpin umat menuju kesejahteraan. Menurut Ibnu Taimiyah, pemimpin yang membawa rakyatnya ke jalan kemaslahatan, dialah yang dikenal dengan ulil amri yang oleh Allah swt diperintahkan untuk ditaati selama tidak memerintahkan ke jalan kemaksiatan.
Dalam sejarah Islam, kepemimpinan yang baik pernah dipraktekkan Rasulullah saw. Di samping sebagai Nabi, beliau juga dikenal sebagai seorang pemimpin negara yang sangat adil, jujur, dan tegas. Ketegasan beliau tercermin dalam salah satu haditsnya;
صحيح البخاري - (ج 13 / ص 201)
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا
“Demi Dzat yang Muhammad dalam kekuasaan-Nya, andaikan Fatimah ra putri Muhammad saw mencuri, niscaya aku potong tangannya.”
Nabi saw tidak pandang bulu dalam menegakkan kebenaran, kendatipun itu terjadi pada keluarganya sendiri. Beda halnya dengan akhir-akhir ini, di mana kebenaran sulit ditegakkan, terlebih bila terjadi pada koleganya sendiri. Pembelaan mati-matian akan dilakukan, sebab akan menjadi aib bagi keluarga bila terbukti tersandung masalah.
Selain Nabi, kepemimpinan yang dinilai cukup berhasil dalam membangun masyarakatnya adalah khalifah Umar bin Abdul Aziz. Sifat yang ditunjukkan beliau bukan hanya ketegasan dan keadilannya dalam memimpin, namun juga memiliki sifat wara’ dan rasa empati yang sangat tinggi terhadap rakyatnya. Pernah suatu ketika beliau mematikan lampu di kantornya tatkala ngobrol bersama putranya, kontan saja putra beliau menanyakan perihal tersebut, dan beliau beralasan karena bukan membicarakan urusan kenegaraan. Selain itu, beliau pernah mengantarkan sendiri kebutuhan pokok masyarakatnya di tengah terik matahari.
Umar bin Abdul Aziz dinilai cukup sukses sebagai pemimpin. Sejarah mencatat, bahwa ketika masa kepemimpinannya sulit dijumpai orang yang lagi membutuhkan sembako. Dalam arti, masyarakatnya makmur dan segala kebutuhannya tercukupi. Tak heran, bila terdapat ungkapan, bahwa kegemilangan yang pernah diraih Umar tidak akan pernah terulang sepanjang sejarah kehidupan ini, sebagaimana dalam sya’ir.
حَلَفَ الزمَانُ ليَأتِيَن بِمِثله ... حَنِثَت يَمِينُكَ يا زَمَانُ فَكَفرِ
“Zaman bersumpah sungguh akan datang seperti dia (pemimpin sekaliber Umar bin Abdul Aziz)  … (akan tetapi) zaman melanggar sumpahnya, maka bayarlah kaffarat.
Zaman telah bersumpah, bahwa tidak akan ada pemimpin di dunia ini yang menyamai Umar bin Abdul Aziz. Kalaupun ada, berarti zaman harus bayar kaffarat lantaran telah melanggar sumpahnya. Syi’ir di atas sesungguhnya hanyalah ungkapan hiperbolis, namun bukan tidak mungkin hal itu terjadi, karena sulitnya menemukan pemimpin yang memiliki rasa tanggungjawab dan kepedulian yang sangat tinggi.
Agar pemimpin benar-benar mampu menjalakan roda pemerintahan, ulama memberikan beberapa syarat berikut:
A.      Islam
Agama merupakan pondasi utama dan syarat utama untuk mejadi pemimpin, karena pemimpin muslim mampu menjaga kemaslahatan Islam beserta pemeluknya. Sebaliknya, pemimpin non-muslim diyakini akan membawa mudharat kepada warga muslim karena akan membuat kebijakan yang akan bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam al-Qur’an, Allah berfirman,
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا [النساء/141]
Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.”
B.       Berakal
Berakal berarti bukan anak-anak dan bukan orang gila. Berakal sangat penting untuk dijadikan syarat sebagai pemimpin karena akan mengurus orang lain. Sedangkan orang yang belum/tidak berakal bagaimana akan mengurusi orang lain padahal ia sendiri tidak mampu mengurusi dirinya sendiri.
C.       Laki-laki
Laki-laki dinilai akalnya lebih sempurna di bandingkan perempuan. Oleh karenanya, laki-laki dianggap pantas menjadi pemimpin daripada perempuan. Di samping itu, Allah memberikan keistemewaan kepada laki-laki yang tidak diberikan kepada perempuan.
Disyaratkannya pemimpin haruslah laki-laki berdasarkan sebuah Hadits Nabi berikut:
سنن الترمذى - (ج 8 / ص 217)
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً
             “Tidak akan bahagia suatu kaum yang menyerahkan urusannya pada perempuan.”
Makna harfiyah hadits ini adalah tidak adanya kesempatan bagi seorang perempuan menjadi pemimpin di tengah-tengah masyarakat. Mengingat, kaum yang dipimpinnya tidak akan menjadi bahagia. Sebaliknya, hadits ini memberikan ruang yang cukup luas bagi kalangan laki-laki untuk menempati di pucuk pimpinan.
Namun, hadits di atas tidak dapat langsung dipahami apa adanya tanpa menganalisis proses disabdakannya dan mengkaitkan dengan kondisi di mana hadits itu lahir. Sehingga akan diperoleh kesimpulan yang semestinya; boleh tidaknya perempuan menjadi pemimpin.
 Dilihat dari segi asbab an-nuzul, hadits tersebut lahir disebabkan ada salah satu shahabat yang bercerita kepada Nabi, bahwa orang-orang Persi telah mengangkat Putri Kisra menjadi Raja atau Ratu. Di mana raja atau ratu memiliki hak mutlak (kekuasaan tunggal) dalam memberikan putusan. Beda halnya dengan kepemimipinan di negara demokrasi yang memiliki sistem pemerintahan trias politica (eksekutif, legislatif, dan yudikatif).
Dari sini, perempuan memiliki peluang untuk menjadi pemimpin selam memiliki kemampuan dan integritas. Mengingat, ia bukanlah satu-satunya yang berhak memberikan putusan, namun harus bermusyawarah dengan yang lain. Selain itu, sudah banyak pemimpin-pemimpin perempuan yang berhasil memimpin sesuai tugasnya masing-masing.
D.      Fisik sempurna
Kesempurnaan fisik memberikan pengaruh besar terhadap kepemimpinan seseorang. Oleh karenanya, sangat pantas fisik sempurna dijadikan syarat bagi seorang pemimpin. Jika saja seorang pemimpin tunanetra atau tunarungu, niscaya sangat sulit untuk mengetahui aspirasi rakyatnya. Bahkan, tidak jarang menyusahkan orang-orang di sekitarnya.
Selain syarat-syarat di atas, sebagian ulama ada yang mensyaratkan seorang pemimpin haruslah memiliki pengetahuan yang luas. Pengetahuan yang luas meliputi; menejemen kepemimpinan dan lain-lain. Hal ini dinilai penting karena akan mampu mempengaruhinya dalam mengambil kebijakan. Sebuah kebijakan yang sesuai dengan harapan masyarakat dan membawa kemaslahatan secara umum dan merata.
Di samping memiliki pengetahuan yang luas, seorang pemimipin haruslah adil. Adil yang dimaksud adalah tidak pernah melakukan dosa besar dan tidak senantiasa mengerjakan dosa kecil. Sedangkan sang hujjatul Islam, al-Ghazali memaksudkan adil dengan wara’. Tampaknya, syarat ini sulit diterapkan di masa sekarang, di mana sulitnya menghindari perkara syubhat. Tapi, paling tidak seorang pemimpin memiliki komitmen yang kuat untuk menghindari perkara tersebut.
Jika saja syarat-syarat di atas sungguh terjadi bagi seorang pemimipin, maka dialah pemimpin yang ideal dan sesuai dengan harapan masyarakat. Namun, masalahnya sulit menemukan kriteria pemimpin yang memenuhi beberapa syarat tersebut. Paling tidak, seorang memiliki komitmen yang kuat untuk memperjuangkan nasib rakyatnya.



[2] Dr. Yahya Ismail, Manhaj as-Sunnah fil ‘Alaqah baina al-Hakim wal Mahkum, Madinah: Dar al-Wafa’.

Post a Comment

  1. kira kira masih ada gak pemimpin yang seperti kita harapkan ya pak +muzhof san

    ReplyDelete

 
Top